BREAKING NEWS

10/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Aan Eko Widiarto: Perppu Cipta Kerja Tidak Sesuai Amar Putusan MK

 

Aan Eko Widiarto (Ahli)


Sri Palupi: Saksi


Sumber https://www.mkri.id/ Tanggal 2 Agustus 2023

Repost:

 

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap uji formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pada Rabu (2/8/2023). Sebanyak empat perkara digabung pemeriksaanya pada dalam persidangan yakni Perkara 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Adapun agenda sidang ketujuh ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.

Pemohon Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 menghadirkan Ahli yaitu Aan Eko Widiarto, Ahli Hukum Tata Negara dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Aan mengatakan pada saat pembentukan UU Cipta Kerja, sudah berlaku Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang diundangkan pada tanggal 16 Juni 2022. Dalam penjelasan umum UU P3 pada intinya disebutkan bahwa penataan dan perbaikan dalam UU ini merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 juga sebagai penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan UU 12/2011.

Menurut Aan, hal ini sudah jelas dimaksudkan sebagai tindak lanjut putusan MK terkait dengan metode omnibus law ditambahkan. Kemudian untuk memperbaiki kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rangka paripurna dan sebelum pengesahan dan pengundangan. Selain itu, memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna.

Dengan demikian, sambungnya, dari sisi teknik penyusunan undang-undang, UU a quo yang merupakan obyek pengujian yang dimaksudkan sebagai perbaikan UU 11/2010 menurutnya telah sesuai dengan amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. “Amar putusan MK 91/2020 menyatakan bahwa pembentukan UU 11/2010 bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak diucapkan,” kata Aan di hadapan Ketua Sidang Pleno MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.

Berdasarkan putusan tersebut, jelas Aan, maka dimaknai MK memerintahkan kepada pembentuk UU untuk memperbaiki UU 11/2020 dengan membentuk UU sebagai perbaikannya. “Dengan adanya Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja sebagai perbaikan, maka menurut ahli tidak sesuai dengan amar putusan MK yang memerintahkan dibentuk undang-undang. Suatu undang-undang dibentuk dengan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan bersama DPR. Tahapan pembentukan Perppu berbeda dengan pembentukan undang-undang. Alasan pembentukan perppu juga berbeda dengan alasan pembentukan undang-undang. Kalau kemudian Perppu ditetapkan DPR menjadi UU merupakan perintah konstitusi yang mau tidak mau dilakukan oleh DPR dalam hal DPR menyetujui Perppu. UU penetapan Perppu tidak dapat dipersamakan dengan UU yang bukan penetapan Perppu,” jelas Aan.

Lebih lanjut Aan menjelaskan UU 11/2020 bukanlah UU yang berupa penetapan Perppu sehingga perbaikannya pun seharusnya tentang jenis undang-undang yang bukan penetapan Perppu. Dari sisi materi muatan, Aan menyebut UU Nomor 6 Tahun 2023 sebagai obyek pengujian ini yang dimaksudkan sebagai perbaikan UU 11/2020. “Menurut ahli tidak sesuai dengan Putusan MK 91/2020,” lanjutnya

Kemudian dari sisi proses pembentukan, Aan menyebut dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 disebutkan bahwa salah satu kesalahan UU 11/2020 adalah bertentangan dengan asas keterbukaan sehingga pembentukannya harus melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna. Dalam hal pembentukan UU, alih-alih membentuk UU untuk memperbaiki UU 11/2020, Presiden justru membentuk Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja kemudian DPR menyetujuinya dan menetapkannya sebagai UU.

Sementara Sri Palupi selaku saksi Pemohon mengatakan telah membaca putusan MK dimana MK menyatakan UU Cipta Kerja itu sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memberikan waktu bagi pemerintah untuk memperbaiki dalam waktu dua tahun. Apabila dalam waktu tersebut pemerintah tidak menjalankannya maka UU ini akan inskonstitusional permanen.

Di dalam putusan MK tersebut, Sri menjelaskan, MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan tindakan ataupun kebijakan strategis yang berdampak luas. Dan tidak membolehkan membuat aturan yang baru. “Apa yang saya lihat, saya dengar dan amati, saya menyimpulkan ada dua hal yang diajukan saat ini yang pertama adalah bahwa pemerintah sudah tidak mematuhi putusan MK dengan mengambil tindakan untuk kebijakan strategis. Yang kedua, pelaksanaan UU Cipta Kerja terbukti telah memberikan dampak negtaif  serius terkait dengan tata kelola hutan, lingkungan dan terhadap kehidupan masyarakat,” ujarnya.

 


 

Sebagai tambahan informasi, permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk.

Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

  

Selanjutnya, Permohonan Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Menurut KSBSI, pokok-pokok permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja yang berasal dari Perppu 2/2022 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 berdasarkan delapan alasan. Di antaranya, persetujuan DPR atas Perppu 2/2022 menjadi undang-undang cacat formil atau cacat konstitusi; Sidang DPR mengambil keputusan atas persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang tidak memenuhi kuota forum (kuorum); bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020; tidak memenuhi syarat ihwal kegentingan memaksa; tidak jelas pihak yang memprakarsai Perppu 2/2022; tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; tidak memenuhi asas kejelasan rumusan; dan tidak memenuhi asas keterbukaan. Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

 

Permohonan Nomor 46/PUU-XXI/2023 diajukan oleh oleh 14 badan hukum yakni Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Pemantau Sawit/Perkumpulan Sawit Watch, Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS), Indonesia For Global Justice (Indonesia untuk Keadilan Global), Yayasan Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), FIAN Indonesia, Perkumpulan Lembaga Kajian dan Pendidikan Hak Ekonomi Social Budaya, dan Konfederasi Kongres Serikat Buruh Indonesia.

Para Pemohon mendalilkan Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 saat DPR dalam masa reses masa persidangan untuk tahun sidang 2022/2023 yang dilaksanakan mulai 16 Desember 2022 hingga 9 Januari 2023.  Lalu, DPR kembali menggelar masa persidangan yang dimulai sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023.

Menurut para Pemohon, seharusnya, Perppu Cipta Kerja tersebut selambat-lambatnya harus disahkan dalam rapat paripurna pada 16 Februari 2023. Namun faktanya, Perppu tersebut baru mendapat persetujuan dan disahkan menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 dalam masa sidang 14 Maret sampai 13 April 2023. Hal ini membuktikan Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang pertama yaitu selambat-lambatnya 16 Februari 2023.


Sedangkan permohonan Nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Buruh yang mendalilkan penetapan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Menurut Partai Buruh, tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.


Posting Komentar

0 Komentar