BREAKING NEWS

10/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Partai Buruh dan Pemenangan Tanpa Politik Uang

KAMPUNG AKUARIUM pagi itu sedang ramai dikunjungi warga dari sejumlah wilayah di Jakarta. Mereka duduk melingkar beralaskan karpet di ruang terbuka kampung susun yang berada di utara Jakarta itu.

Para warga adalah anggota koperasi kampung-kampung yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).

Di tengah-tengah mereka duduk Dharma Diani, biasa dipanggil Yani. Ia bagian dari 103 Kepala Keluarga (KK) penghuni Kampung Susun Akuarium. Yani juga ketua pengurus koperasi kampung susun.

Kesibukan Yani hari itu sudah dimulai sejak dini hari. Ia didapuk sebagai ketua panitia untuk agenda penyampaian gagasan bakal calon legislatif (bacaleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta 2024-2029.

Rencananya akan ada 13 bacaleg yang memaparkan visi misi mereka. Warga kemudian akan menyeleksi mereka menjadi enam caleg DPRD di bawah bendera Partai Buruh.

Yani perlu memastikan acara berjalan lancar, menugaskan anggota pengurus lain menyiapkan konsumsi beserta peralatan makan, menyediakan sound-system, bersih-bersih, dan kebutuhan-kebutuhan lain.

Acara dijadwalkan mulai pukul 10 pagi, tetapi kerumunan warga sudah terlihat sebelum waktu dimulai.

Bagi mereka, agenda pencalonan di kursi DPRD adalah harapan untuk menjamin keberlangsungan hidup sebagai warga miskin kota.

Harapannya tidak muluk-muluk: mereka ingin kepastian akan ruang hidup; bahwa rumah mereka tidak akan digusur; bahwa hak mereka atas air, layanan kesehatan, dan pendidikan dijamin oleh negara. Bagi masyarakat miskin kota, kesempatan ini bagai hidup dan mati.

 

Yani merasakan bagaimana ruang hidupnya dirampas. Pada April 2016, rumahnya bersama 300 rumah lain di Kampung Akuarium digusur pemerintah provinsi di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama. Alasannya untuk membangun tanggul demi mencegah banjir di Ibu Kota.

Penggusuran yang berujung pengalaman traumatis baginya terjadi secara mendadak dan tanpa komunikasi dua arah. Mereka dipaksa pindah ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa), letaknya 28-30 km dari tempat tinggal mereka.

Padahal kebanyakan warga Kampung Akuarium menggantungkan hidup di laut: sebagai nelayan, kuli tanggul di pelabuhan, hingga buruh di pelelangan dan pabrik ikan. Pindah ke rusunawa berarti mengorbankan sumber penghidupan.

Menolak direlokasi, sejumlah warga memilih bertahan hidup di wilayah penggusuran. Mereka membangun tenda dan bangunan bedeng di atas sisa-sisa puing.

Ruang hidup Yani di Kampung Susun Akuarium diselamatkan oleh kontrak politik antara Urban Poor Consortium (UPC) dan Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JRMK) dengan pasangan calon gubernur DKI Jakarta kala itu, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Enam tahun silam itu, mereka berjanji akan memastikan warga Kampung Akuarium tidak direlokasi dan rumah mereka dibangun kembali. Pada 2021, tahap pertama Kampung Susun Akuarium dengan kapasitas 107 unit telah diresmikan.

Tetapi, kontrak politik itu tidak menjamin masyarakat miskin kota lain mencicipi hal sama.

Warga Kampung Bayam di Jakarta Utara, misalnya. Hingga kini, mereka masih belum bisa menghuni Kampung Susun Bayam meski pembangunan telah rampung. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Jakpro berdalih bangunan masih dalam proses “pemeliharaan” dan justru hendak dikomersialisasi lewat penetapan tarif sewa.

Warga Kampung Bayam menjadi korban peminggiran dua kali: pertama saat digusur untuk pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Totalnya, ada 604 keluarga atau 1.612 jiwa yang terdampak penggusuran.

Kedua, tak kunjung terjadi proses serah-terima kunci Kampung Susun Bayam, sehingga warga tinggal di tenda pengungsian di depan pintu masuk kampung susun.

Kontrak Politik Tidak Berkelanjutan

Bagi Yani, mengusung caleg sendiri di kursi DPRD adalah kesempatan untuk tak dianggap sebelah mata lagi oleh pemerintah. Sebagai kelas miskin kota, mereka kerap dianggap warga kelas dua, bodoh, dan tak memiliki posisi tawar.

Pihak-pihak yang hendak mencalonkan diri memperlakukan mereka sebagai objek pasif: mengantarkan sembako, kaos, atau uang yang mereka anggap dapat ditukar surat suara.

Terkadang ada kesempatan lebih besar dan lebih setara melalui dialog dan kontrak politik. Tetapi, itu tidak menjamin suara mereka didengar.

“Warga selalu ngikut termasuk dengan berkontrak [politik]. Setelah satu dua kali, ternyata lebih banyak kecewanya,” tutur Yani.

Pada 2017, UPC dan JMRK mengikat pasangan Anies-Sandi dengan kontrak politik revitalisasi kampung. Mereka menggalang massa untuk memilih Anies Baswedan dalam pemilihan kepala daerah.Sebagai gantinya, Anies memenuhi janji memberi perhatian pada isu kampung kota seperti pengaturan tata ruang, legalisasi lahan, hunian terjangkau, dan pekerjaan.

Kampung Akuarium jadi salah satu fokus perhatian itu. Janji politiknya membangun lagi kampung-kampung yang telah tergusur dengan desain kampung susun sesuai kebutuhan warga setempat.

Masyarakat miskin kampung kota saat itu tidak punya banyak pilihan.

Pasangan Anies-Sandi memang menyatakan komitmen memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat miskin kota. Tetapi, di sisi lain, mereka mesti “menghukum” Ahok, memastikan ia tidak maju dan melakukan penggusuran kembali.

Warga kapok. Pasangan Jokowi-Ahok mengingkari janji untuk tidak menggusur saat kampanye calon gubernur pada 2012. Namun, ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden dan jabatan gubernur diambil alih Ahok, penggusuran terjadi secara masif.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat penggusuran di masa pemerintahan Ahok telah berdampak kepada lebih dari 25 ribu orang.

Mimpi buruk itu terulang. Akhir 2022, kontrak politik Anies-Sandi dianggap kedaluwarsa. Masyarakat miskin kota kembali mengalami peminggiran. Setelah masa pemerintahan Anies berakhir, gubernur yang kini ditunjuk sebagai penanggung jawab sementara, Heru Budi Hartono, justru berpaling dari rakyat.

Eny Rochayati, salah satu bacaleg dan mantan koordinator JRMK, menyoroti perubahan signifikan itu. Dari yang awalnya mereka diterima dengan tangan terbuka di balai kota, kini mereka menghadapi pintu-pintu tertutup.

Mereka kesulitan mengadvokasi warga Kampung Bayam yang belum bisa menempati kampung susun hasil revitalisasi.

“Sekarang kita masuk ke balai kota saja sudah seperti menginjak duri,” kata Eny.

Kekuatan Melalui Surat Suara

Gugun Muhammad, Koordinator UPC dan calon dari JRMK untuk DPR, menyebut proses pencalegan sebagai “alat”. Bisa jadi tepat, bisa jadi tidak. Tetapi, yang pasti, mereka percaya mereka butuh untuk mencobanya.

“Ini adalah sebuah eksperimen,” katanya.

Proses kampanye bacaleg di UPC-JRMK telah dimulai sejak Januari 2023. Mereka semula membuka pendaftaran bagi seluruh anggota. Partai Buruh menyerahkan mekanisme pemilihan kepada UPC dan JRMK.

Calon-calon legislatif di tingkat DPRD akan mewakili kampung-kampung miskin kota yang terbagi dalam empat daerah pemilihan (dapil): Cilincing, Koja, Kepulauan Seribu (Dapil 2), Pademangan, Penjaringan, Tanjung Priok (Dapil 3), Ciracas (Dapil 6), dan Kebon Jeruk (Dapil 10).

Setelah itu, tahap kampanye dan pemilihan. Setiap anggota koperasi di seluruh kampung berhak untuk mencoblos. Lalu, dipilih tiga besar dari masing-masing dapil untuk proses pemilihan oleh perwakilan pengurus koperasi antar-kampung.

Prinsipnya, meski setiap calon terpilih memiliki dapilnya masing-masing, tapi mereka akan mewakili seluruh kampung.

Dengan jumlah anggota di setiap dapil yang berbeda-beda, maka mekanisme seleksinya pun menyesuaikan dapil tersebut.

Misalnya, khusus di daerah Dapil 3, karena jumlah bacaleg lebih banyak dan jumlah anggota koperasi hingga 2.000-an keluarga, maka setiap anggota berwenang untuk mencoblos tiga nama.

Sementara, di wilayah-wilayah lain, seperti di Cilincing (Dapil 2), setiap orang berwenang memilih satu bacaleg di setiap putaran pencoblosan, dan pihak yang mendapatkan total jumlah suara terbanyak dari seluruh putaran itu yang akan menjadi caleg.

JRMK dan UPC pada prinsipnya adalah organisasi non-partisan. Bahkan, mereka punya riwayat sebagai organisasi anti-partai.

Awalnya, masih banyak yang menganggap remeh dan skeptis dengan wacana warga berpolitik aktif. Mereka menyadari bahwa sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini adalah sistem yang tidak sempurna. Dalam bahasa Gugun, “Sistem yang busuk.”

Politik kepartaian selama ini cenderung hanya memberikan peluang kepada pihak bermodal besar untuk maju, yang berarti mereka akan berutang kepada pihak-pihak berkuasa yang telah menyuntikkan modal kepada mereka.

Maka, meski mereka mengirim perwakilan-perwakilan untuk maju sebagai caleg di Partai Buruh, UPC dan JRMK tetap bukan bagian dari Partai Buruh.

UPC telah berdiri sejak 1997. Sementara JRMK sejak 2008. JRMK kini beranggotakan 24 kampung dengan total anggota mencapai 4.900 ribu-an KK per April 2022. Jumlahnya diprediksi meningkat hingga 6.000-an KK tahun ini.

Mereka dapat menggabungkan kekuatan untuk memilih kader di legislatif. Mereka tidak lagi menggunakan cara-cara lama: datang ke TPS tanpa benar-benar meyakini calon yang mereka pilih.

“Bayangkan, pemilu berlangsung setiap lima tahun. Dalam lima tahun itu, kita memperjuangkan isu kita. Setiap hari, mengorganisir warga. Tapi, begitu masuk TPS, nggak ada artinya. Karena setiap orang punya pilihan dan motif masing-masing,” terang Gugun.

Di luar itu, dengan menggabungkan kekuatan berarti mereka tak lagi dianggap sebagai objek pasif dalam pemilu. Mereka memiliki posisi tawar yang, harapannya, membuat pemerintah mempertimbangkan dengan matang kebijakan yang sedang mereka rumuskan dan dampaknya kepada masyarakat miskin kota.

“Ketika pemerintah sadar kami punya basis politik yang jelas, mereka akan berpikir ketika membuat kebijakan. Karena, kalau nggak, nanti didemo, diprotes,” jelas Gugun.

Ia juga menambahkan bahwa berpartisipasi dalam partai kelas pekerja juga berarti memperluas jaringan. Harapannya, masyarakat miskin kota dapat berkenalan dan membangun solidaritas dengan kelas-kelas pekerja lain, seperti jaringan serikat buruh, serikat petani, guru honorer, ojek online, dan lainnya.

“Harapannya, isu miskin kota tidak eksklusif hanya jadi perhatian kelompok miskin kota. Tidak hanya yang miskin bekerja sendiri, lalu yang kelas menengah juga bekerja sendiri. Jadi mengurangi segregasi kelas,” kata Gugun.

Melawan Kerusakan dari Dalam

Ada kegusaran bahwa kerja-kerja UPC dan JRMK selama ini tidak cukup menandingi dampak buruk yang dibawa oleh kebijakan-kebijakan destruktif pemerintah yang merugikan kelompok masyarakat marginal.

“Daya rusak [pemerintah] lebih cepat karena negara punya segala infrastruktur untuk merusak. Sementara, untuk membangun orang satu per satu, mengorganisir, itu butuh waktu yang tidak sebentar,” kata Gugun.

Kendati begitu, UPC dan JRMK menyadari mereka juga hidup di dalam sistem.

Ini juga yang menjadi sorotan Amalinda Savirani alias Linda, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Baginya, keputusan masyarakat miskin kota untuk ikut serta dalam politik elektoral adalah “opsi yang tak terhindarkan.”

Ia menyebutkan bahwa rezim pemerintahan Indonesia saat ini cenderung mengutamakan efisiensi dalam proses pembangunan ekonomi, khususnya yang mendorong investasi. Sementara, kebijakan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat seperti tempat tinggal, hak kesehatan, dan hak pendidikan masih menyisakan persoalan struktural.

Linda memahami skeptisisme kebanyakan elemen masyarakat sipil untuk bergabung dengan partai politik yang sudah mapan. Sebab, partai politik mapan punya kecenderungan untuk bekerja demi kepentingan diri sendiri (self-interest) dan mengabaikan suara-suara konstituen mereka.

“Pilihan menempuh jalur elektoral jadi sebuah konsekuensi logis saja untuk meneruskan perjuangan membela hak kelompok marginal,” kata Linda.

“Gubernur terus berganti, orientasi politik mereka bisa beda-beda, tidak ada yang secure dalam politik; dalam konteks pemenuhan hak-hak warga marginal.”

Partai Buruh, di satu sisi, adalah alternatif. Paling tidak, basis sosial Partai Buruh adalah serikat pekerja. Mereka relatif memiliki sumber daya sendiri, bukan melalui hasil suntikan-suntikan modal kelompok oligarki.

“Partai Buruh di banyak negara maju berawal dari gerakan buruh. Aku sendiri belum pernah mendengar Partai Miskin Kota, tapi biasanya kelompok marginal bergabung dengan partai-partai yang memiliki perhatian sama dengan mereka, seperti jaminan atas kesejahteraan, hak-hak dasar,” kata Linda.

Partai Buruh berdiri secara resmi pada 2021. Pada 1998, pernah ada Partai Buruh yang didirikan oleh Muchtar Pakpahan. Partai ini tidak pernah mendapatkan suara signifikan dalam tiga pemilu; 1999, 2004, dan 2009.

Sementara, Partai Buruh yang mengikuti pemilu 2024 didirikan oleh serikat buruh yang basis sosialnya lebih luas dibandingkan partai yang pernah didirikan Muchtar Pakpahan.

Berdasarkan pengamatan Linda, pendirian partai ini merupakan hasil dari perjalanan panjang serikat menggunakan jalur politik elektoral di pemilu-pemilu sebelumnya.

Pada 2014, misalnya, kampanye “Buruh Go Politics” berlangsung. Gerakan ini berdiri berdasarkan rekomendasi buku kajian terbitan Demos berjudul Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto karya A.E Priyono, Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Tornquist (2003).

Penelitiannya menunjukkan gerakan buruh di Indonesia sebelum dan setelah Orde Baru. Gerakan buruh dekat dengan politik sebelum masa Orde Baru, sehingga menghasilkan peraturan perundang-undangan yang juga berpihak kepada kelas pekerja.

Namun, selama rezim Orde Baru, gerakan buruh dikontrol dan dilemahkan, dilabeli dan diasosiasikan dengan paham komunisme, dan dampaknya terasa hingga sekarang.

Melalui “Buruh Go Politics,” di Kabupaten dan Kota Bekasi, sembilan kader buruh mencalonkan diri sebagai anggota DPRD. Para caleg berasal dari Federasi Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), tetapi mencalonkan diri melalui sejumlah partai politik karena belum ada partai buruh yang menaungi mereka saat itu.

Dua di antaranya berhasil mendapatkan kursi, Nurdin Muhidin dari PAN dan Nyumarno dari PDIP. Sayangnya, karena disokong partai besar, kedua kader buruh ini kesulitan untuk mengompromikan agenda serikat dengan agenda partai politik.

Berdasarkan pengalaman itu, serikat buruh memahami bahwa mendirikan partai politik akan memberikan kemudahan bagi mereka untuk mengorganisir kekuatan dan mendapatkan suara.

***

Menggabungkan kekuatan juga berarti bergandengan tangan guna memperluas basis pendukung dengan kelompok-kelompok marginal lainnya, seperti masyarakat miskin kota, pekerja-pekerja yang diinformalkan, hingga pekerja rumah tangga.

Meski ada risiko kegagalan, tetapi UPC dan JRMK optimistis pada potensi, jejaring, dan kerja-kerja pengorganisiran selama hampir dua dekade terakhir.

Risiko menjadi “bagian dari sistem yang busuk” juga coba mereka antisipasi dengan jaring-jaring pencegahan dan pengaman yang telah mereka rumuskan sejak awal. Misalnya, adanya kontrak politik antara JRMK dengan caleg-caleg mereka. Lalu, menyiapkan tenaga ahli untuk mendampingi para caleg, juga menjadwalkan pertemuan berkala antara para caleg dengan JRMK.

Gugun menyebut proses yang sedang mereka lakukan sebagai “pesta rakyat kecil”. Masyarakat miskin kota mengalami proses demokrasi secara langsung.

Anggota-anggota koperasi turut serta menjadi panitia pemungutan suara. Mereka menyiapkan surat suara, mengantarkan kotak suara ke masing-masing kampung, lalu mereka melakukan penghitungan suara. Proses pemungutan suara di suatu kampung juga melibatkan panitia dari kampung lain sebagai saksi.

Seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses pemilihan ditanggung koperasi. Ketika seorang bacaleg berkampanye di salah satu kampung yang termasuk di dapilnya, maka koperasi kampung itu yang bertanggung jawab untuk mengundang anggota-anggota mereka hingga menyediakan konsumsi.

Aturan ini dibuat dengan kesadaran bahwa setiap caleg tidak maju untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi kepentingan bersama masyarakat miskin kota di Jakarta.

“Sudah kayak pemilu beneran,” komentar seorang panitia saat pemungutan suara.

“Emang pemilu beneran!”

Sumber : projectmultatuli.org

Posting Komentar

0 Komentar